Wednesday 15 October 2014

The Silkworm/ Ulat Sutra (Resensi Buku)

Cover buku The Silkworm

  • Judul Buku : The Silkworm (Ulat Sutra)
  • Penulis : J.K. Rowling
  • Penerjemah : Siska Yunita & M. Aan Mansyur (kutipan)
  • Penyunting : Tim Editor Qanita
  • ISBN : 978-602-03-0981-1
  • Cetakan I, Oktober 2014
  • Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
  • Jumlah Halaman : 536 hal
  • Harga : Rp. 101.500 (pre order  di bukabuku.com)
  • Rating : Dewasa

Sejak kesuksesan Cormoran menemukan pembunuh asli supermodel Lula Landry di novel The Cuckoo’s Calling, detektif partikelir ini mendadak terkenal dan kebanjiran klien, hal ini tentu saja amat membantu memperbaiki kondisi keuangan Cormoran yang tidak sehat. Kini, dengan banyaknya klien yang datang –ditambah daftar tunggu klien yang cukup panjang- Cormoran mampu menyewa sebuah flat kecil di atas kantornya, membeli beberapa perabotan agar kehidupannya dapat dijalani dengan lebih layak dan tentunya harapan untuk melunasi utangnya pada Jhony Rokeby dapat segera terwujud dan tentu saja menaikkan gaji sekretarisnya Robin yang sangat fungsional agar dia tidak “lari kemana-mana.
Namun di tengah-tengah banjir klien dengan kasus yang nyaris itu-itu saja (membantu mengumpulkan kelengkapan bukti-bukti perceraian, membantu mengungkap perselingkuhan atau mengungkap kecurangan partner bisnis dan kasus membosankan sejenisnya) Cormoran merindukan kasus yang mampu menantang dirinya secara intelektual. Dan pucuk dicinta ulam tiba, suatu hari datanglah ke kantornya seorang wanita paruh baya sederhana beranak satu, meminta jasa Cormoran untuk membawa pulang suaminya yang seorang penulis novel kurang terkenal Owen Quine. Owen telah menghilang hampir 2 minggu lamanya dan istrinya Leonora merasa tahu di mana dia berada namun tidak memiliki sumber daya untuk membawanya kembali pulang.
Cormoran yang mengambil kasus ini hanya karena dia merasa bosan dan frustasi dengan salah seorang kliennya yang kaya dan sombong ,sempat sedikit menyesali keputusannya mengambil kasus ini yang terlihat tidak menjanjikan secara finansial. Namun, setelah sang penulis akhirnya berhasil ditemukan dalam keadaan tak bernyawa dengan cara kematian yang tragis dan menyeramkan, bersama fakta bahwa ternyata si penulis adalah bajingan peselingkuh dan sebelum kematiannya dia telah menyelesaikan penulisan sebuah novel kontroversial berjudul Bombyx Mori -yang adalah nama Latin dari Ulat Sutera- yang membuatnya berkonflik dengan beberapa orang yang berpengaruh di dunia penerbitan , mau tidak mau waktu dan tenaga Cormoran habis dicurahkan untuk menangani kasus ini, apalagi belakangan pihak polisi memukan satu demi persatu bukti yang mengarah pada Leonora sendiri
sebagai pembunuh suaminya Owen Quine.
Cormoran yang secara insting mempercayai Leonora tidak bersalah, bersama Robin –di tengah upayanya untuk berusaha menghalau kenangan bersama Charlotte sang mantan tunangan manipulatif yang akhirnya menikah dengan seorang bangsawan- berusaha mati-matian untuk membuktikan bahwa kliennya tidak terlibat dalam pembunuhan sang novelis, meskipun dengan demikian mengancam kelangsungan persahabatannya dengan Anstiss, temannya sewaktu dinas di Angkatan Darat.
Berhasilkah Cormoran menemukan pembunuh asli Owen Quine? Apakah benar Leonora istri yang dikhianati selama bertahun-tahun itu akhirnya telah kehabisan kesabaran terhadap suaminya dan memutuskan mengabisi nyawa Owen dengan sadis? Ataukah orang-orang yang aibnya diumbar Owen dalam Bombyx Mori yang melancrakan pembalasan dendam? Lantas bagaimana hubungan Cormoran dengan Robin yang sudah lebih dari 8 bulan menjadi sekretarisnya? Dibaca sendiri saja yaa.. ;-)

Komentar saya :

  1. Seperti novel pertamanya Robert Garlbarith mampu menggambarkan kisah Cormoran dengan sangat detail, penggambaran kota London yang terperinci serta kebiasaan Cormoran dan Robin menggunakan kereta, mau tidak mau membuat saya membayangkan sesaknya commuter line yang beberapa kali saya naiki. Saya berandai-andai kalau Cormoran tinggal di Jakarta, betapa tersiksanya dia bila setiap kali membuntuti klien harus berjalan kaki menyebrangi jembatan penyebrangan di Jakarta yang “amit-amit” tinggi dan jauhnya dengan anak tangga yang curam, menggunakan kaki prostetiknya itu, apa mungkin dia akan menjadi Detektif yang sukses seperti sekarang;
  2. Kalau di novel pertama saya berhasil menerka pembunuh Lula Landry, maka harus saya akui dalam novel ini saya terkecoh dengan deduksi saya sendiri. Pembunuh Owen Quine betul-betul di luar dugaan saya.
  3. Saya menyukai arah perkembangan hubungan Cormoran dan Robin, saya rasa hubungan mereka sangat tepat untuk saat ini hanya sebatas partner  kerja. Saya yang sempat mengharapkan hubungan mereka berdua berkembang kea rah yang lebih romantis, mau tidak mau menyetujui niat Galbraith yang memasangkan Cormoran dan Robin layaknya Sherlock Holmes dan Jhon Watson.  TApi saya masih merasa Robin layak memiliki suami yang lebih mampu menghargai kecerdasan dan kemampuannya dan orang itu adalah Cormoran. Jadi kita lihat saja nanti, saya pikir happy ending ini sengaja disimpan Galbraith untuk membuat pembaca gemas. Oke Galbraith, saya akan bersabar menanti,  toh ini kan baru seri ke dua ;-)
  4. Komentar saya ringkas saja, buku ini sangat layak baca dan juga layak adopsi. Saya tidak sabar menunggu seri ketiga Cormoran Strike selanjutnya. 
Keep reading and love your books!
Salam, 

  Bibliofili

No comments:

Post a Comment